Catatan Kecil Apoteker

Sebuah blog yang berisi tentang ilmu farmasi

Latest Posts
             Jika terdapat suatu kasus di mana ada seorang mayat dan di sekitar mayat ada rambut dan bercak darah yang diduga milik pelaku, maka tim forensik akan memeriksa DNA dari sampel biologis tersebut untuk mengetahui siapa pelaku pembunuhan tersebut. Karena sampel yang ada sangat sedikit dan DNA yang akan diidentifikasi juga sedikit, maka diperlukan suatu teknik untuk memperbanyak DNA tersebut. Teknik tersebut adalah PCR kemudian dilanjutkan dengan elektroforesis.
Polymerase Chain Reaction (PCR)
            PCR adalah suatu teknik amplifikasi (perbanyakan) sekuens DNA target spesifik secara in vitro. PCR dapat digunakan untuk mengamplifikasi segmen DNA dalam jumlah jutaan kali hanya dalam beberapa jam.
            Yang dibutuhkan untuk PCR adalah sebagai berikut:
1.      DNA template

DNA template merupakan total DNA genomik yang diisolasi dari sampel biologis (darah, sperma, kulit, rambut, dll) yang berisi wilayah target yang akan diperbanyak. DNA template digunakan sebagai cetakan untuk pembentukan molekul DNA baru yang sama.
1.      DNA primer
Merupakan potongan pendek DNA single strand yang mengapit target. DNA primer inilah yang menentukan keberhasilan PCR.
1.      Taq DNA polymerase
Merupakan enzim yang digunakan sebagai katalis untuk reaksi polimerase DNA. Dipilih dari bakteri termofilik atau hipertermofilik karena enzimnya bersifat termostabil sampai temperatur 95 derajat celcius.
Enzim Pfu polimerase (diisolasi dari bakteri Pyrococcus furiosus) mempunyai aktivitas spesifik 10 kali lebih kuat dibandingkan aktivitas enzim Taq polimerase (Thermus aquaticus).
1.      Nukleotida (GATC)
Merupakan bahan-bahan yang digunakan untuk menyusun DNA.
G = Guanin; A = Adenin; T = Timin; C = Sitosin
Thermal Cycler

Adalah alat untuk proses PCR. Alat ini mampu mengubah suhu dengan cepat dan mengulangi siklus selama beberapa kali dengan tiga suhu berbeda selama reaksi PCR.
Proses PCR terdiri dari tiga siklus, yaitu:

1.      Denaturasi
Pada proses ini suhu yang digunakan adalah berkisar 93 – 95 derajat celcius selama 1 menit. Suhu yang digunakan tergantung pada panjang DNA templat yang digunakan dan juga pada panjang fragmen DNA target. Suhu denaturasi yang terlalu tinggi akan menurunkan aktivitas polimerase DNA yang akan berdampak pada efisiensi PCR. Selain itu, juga dapat merusak DNA templat. Sedangkan suhu yang terlalu rendah dapat menyebabkan proses denaturasi DNA templat tidak sempurna. Sehingga umumnya suhu denaturasi yang digunakan adalah 94 derajat celcius. Dalam proses denaturasi, ikatan hidrogen DNA double strand akan rusak sehingga terpisah menjadi single strand.

2.      Annealing
Suhu kemudian diturunkan menjadi 55 derajat celcius selama 45 detik. Pada proses ini, DNA primer single strand akan menempel pada daerah tertentu dari target DNA.

3.      Ekstensi
Pada proses ekstensi, suhu dinaikkan menjadi 72 derajat celcius selama 2 menit. Langkah ini disebut langkah perpanjangan karena pada suhu ini polimerase Taq DNA membentang dari primer dengan menambahkan nukleotida yang melengkapi templat untuk strand DNA yang baru tumbuh.

Ketiga siklus ini akan berulang selama 30 kali.

Elektroforesis

            Hasil dari PCR kemudian dipisahkan dengan elektroforesis. Elektroforesis merupakan teknik untuk memisahkan protein atau DNA dengan jalan memberi perbedaan medan listrik elektrostatik pada media agar/ poliakrilamid yang direndam dalam TBE (Tris –  Boric Acid – EDTA). Teknik ini dapat digunakan untuk memanfaaatkan muatan listrik yang ada pada molekul misalnya DNA yang bersifat negatif. Molekul yang dapat dipisahkan antara lain DNA, RNA, atau protein. Jika suatu molekul yang bermuatan negatif dilewatkan melalui suatu medium, misalnya gel agarosa, kemudian dialiri arus listrik dari satu kutub ke kutub yang berlawanan muatannya, maka molekul tersebut akan bergerak dari kutub negatif ke kutub positif.


Fragmen DNA pendek atau protein dengan berat molekul rendah akan bergerak paling jauh. Sampel DNA diberi pemberat (misalnya gliserin) dan pewarna untuk mengetahui apakah bagian terpendek sudah sampai di ujung. Pewarna yang digunakan biasanya metylen blue.


Fragmen-fragmen DNA yang telah dipotong dengan enzim restriksi dapat ditentukan ukurannya dengan cara membuat gel agarosa, yaitu bahan semi-padat berupa polisakarida yang diekstraksi dari rumput laut. Gel agarosa dibuat dengan melarutkannya dalam suatu buffer. Agar dapat larut dengan baik, pelarutannya dibantu dengan pemanasan hingga gel agarosa dalam keadaan cair sehingga mudah dituang ke atas lempeng, dan sebelum mendingin dibuat sumuran dengan menggunaka perspex menyerupai sisir yang ditancapkan pada salah satu ujung gel yang masih cair. Sehingga ketika gel memadat, terbentuklah sumuran-sumuran kecil. Ke dalam sumuran inilah nantinya molekul DNA dimasukkan.


Agarosa merupakan polisakarida yang terdiri dari unit agarobiosa. Konsentrasi agarosa yang biasa digunakan antara 1 – 3%. Ukuran pori gel bergantung pada konsentrasi agarose, semakin tinggi konsentrasi agarosa maka semakin kecil ukuran pori dan sebaliknya. Agarosa juga mengandung sulfat, semakin rendah konsentrasi sulfat maka semakin murni agarosa. Keuntungan menggunakan agarosa adalah agarosa leleh pada suhu yang rendah (62 – 65 derajat celcius).
Tahapan elektroforesis:
1.      Pemasangan sisir pada cetakan gel agarosa.
2.      Menuangkan larutan agarosa yang cair setelah pemanasan.
3.      Setelah permukaan gel padat, sisir diangkat.
4.      Setelah ditambahkan dengan larutan TBE, masukkan DNA sampel dalam setiap sumuran.
5.      Menghidupkan mesin elektroforesis dengan waktu, set voltase dan arah migrasi yang telah ditetapkan.
6.      Hasil dari elektroforesis kemudian diamati dengan UV illuminator.


Sumber referensi:
PPT Kuliah Kimia Forensik  Bab PCR dan Elektroforesis beserta catatan kecil saya
Handoyo, Darmo dan Ari Rudiretna. 2000. Prinsip Umum dan Pelaksanaan Polymerase Chain Reaction (PCR). Pusat Studi Bioteknologi. Universitas Surabaya. Unitas, Vol. 9, No. 1, 17-29
Wilson, K. & John M. W. 1994. Principles and Techniques of Practically Biochemistry. UK: Cambridge University Press
Yuwono, T. 2005. Biologi Molekuler. Jakarta: Erlangga


Tuan RM usia 59 tahun, 160 cm, dengan riwayat DM sejak 12 tahun yang lalu, datang ke dokter dengan keluhan badan lemah, panas 2 hari. Keluhan lain sering muncul kesemutan dan terasa nyeri yang menusuk terutama pada malam hari.
Data klinik                  : TD 130/ 80, nadi 80/ menit, suhu 39ºC.
Data lab                       : GDA 750; Leukosit 22.000; Hb 11,5; LED 85
                                      BGA : pH 7,35; HCO3; pCO2 40
                                      Na 137 mmol/L; 3,0 mmol/L; Cl 99 mmol/L; kreatinin serum 3 mg/ dl; albuminuria positif
Diagnosa                       : DM – sepsis – neuropati
Terapi                            : infus 0,5 NS
                                        Actrapid RCI 6 x 4 unit IV dilanjutkan actrapid 3 x 12 unit SC
                                        Ceftazidim 3 x 1 g
                                        Metronidazol drip 500 mg 3 dd 1
                                        ASA tab 1 x 100 mg
                                        Dipiradamol tab 3 x 75 mg
                                        Captopril 25 mg 3 dd 1
                                        Asam mefenamat 3 dd 500 mg
Pertanyaan:
1.      Perhatikan data keluhan pasien komplikasi. DM apa yang terjadi pada pasien ini? Jelaskan patogenesisnya!
Jawab:
a.         Komplikasi DM: infeksi/ sepsis
Data keluhan pasien: badan lemah, panas 2 hari
Patogenesis: hiperglikemia menurunkan fungsi sel PMN (neutrofil) serta produksi sitokin sehingga terjadi disfungsi adhesi, kemotaksis, fagositosis oleh makrofag mengakibatkan menurunnya fungsi “microbial killing” sistem imun. Ketika ada bakteri menyerang maka mudah terjadi infeksi/ sepsis.
b.         Komplikasi DM: neuropati diabetik
Data keluhan pasien: kesemutan dan rasa nyeri yang menusuk, terutama malam hari.
Patogenenis: menurut teori Polyol Pathway, ambilan glukosa di saraf perifer tidak hanya bergantung pada insulin. Oleh karena itu, kadar gula darah yang tinggi pada pasien diabetes menyebabkan konsentrasi glukosa yang tinggi di saraf. Hal itu kemudian menyebabkan konversi glukosa menjadi sorbitol melalui jalur polyol melalui reaksi beruntun dikatalisasi oleh aldose reductase. Kadar fruktosa saraf juga meningkat. Fruktosa dan sorbitol saraf yang berlebihan menurunkan ekspresi dari kotransporter sodium/ myoinositol sehingga menurunkan kadar myoinositol. Hal ini menyebabkan penurunan kadar phosphoinositide, bersama-sama dengan aktivasi pompa Na dan penurunan aktivitas Na/ K ATPase. Aktivasi aldose reductase mendeplesi kofaktornya, NADPH, yang menghasilkan penurunan kadar nitric oxide dan glutathione, yang berperan dalam melawan perusakan oksidatif. Kurangnya nitric oxide juga menghambat relaksasi vaskuler yang dapat menyebabkan iskemia kronik.
2.      Perhatikan data lab! Komplikasi DM apa saja yang dialami pasien?
Jawab:
a.       Data lab: leukosit 22.000 (normal = 4.000 – 10.000); suhu tubuh 39º C (normal = 37ºC); dan LED 85 mm/ jam (normal = 0 – 15 mm/ jam).
Komplikasi DM: infeksi/ sepsis
b.      Data lab: kreatinin serum 3 mg/ dl (normal = 0,6 – 1,3 mg/ dl); albuminuria positif (normal = negatif), Hb 11, 5 g/dl.
Komplikasi DM: nefropati diabetik

3.      Jelaskan patogenesis komplikasi no.2!
Jawab:
Infeksi/ sepsis
Hiperglikemia menurunkan fungsi sel PMN serta produksi sitokin. Akibatnya, terjadi disfungsi adhesi, kemotaksis, dan fagositosis oleh makrofag. Leukosit diproduksi dalam jumlah besar akibat adanya gangguan imunoregulasi sehingga jumlah leukosit terus meningkat namun fungsi “microbial killing” dari leukosit menurun. Apabila bakteri menyerang maka mudah mudah terjadi infeksi/ sepsis. Bakteri yang telah mati dalam tubuh akan membebaskan pirogen. Zat-zat pirogen inilah yang enyebabkan suhu tubuh pasien meningkat.
Nefropati diabetik
Hiperglikemia menyebabkan terjadinya ikatan irreversibel antara glukosa  dan protein yang membentuk Advanced Glycation End Products (AGE’s). AGE’s tersebut berikatan dengan matriks ekstra sel pada Glomerular Basement Membrane, semakin banyak AGE’s yang berikatan di glomerulus maka akan terjadi penebalan membran glomerulus yang berlanjut pada kondisi glomerulosklerosis. Jika sudah terjadi glomerulosklerosis maka dapat terjadi hiperfiltrasi. Manifestasi klinisnya adalah peningkatan kreatinin serum serta albuminuria (albumin disekresi dalam urine). Oleh karena itu, jumlah Hb menurun.

4.      Jelaskan tujuan pemberian 0,5 NS!
Jawab:
Pemberian Normal Saline hipotonis bertujuan untuk rehidrasi pasien serta memperbaiki keseimbangan osmolaritas darah (Pharmacotherapy Dipiro p. 1233).

5.      Jelaskan tujuan dan implementasi regimen RCI pada pasien di atas!
Jawab:
Tujuan pemberian Actrapid RCI (Regulasi Cepat Insulin) pada pasien tersebut adalah untuk menurunkan gula darah pasien dengan segera karena kadar gula darah pasien (750 mg/ dl) tergolong tinggi (Pharmacotherapy Dipiro p. 1216 – 1217).
Terapi untuk RCI adalah RCI (IV) 4 unit/ jam selama 6 jam sebagai dosis awal, diikuti Actrapid SC 12 unit/ 8 jam (3 kali sehari) sebagai dosis maintenance (Petunjuk Praktis Terapi Insulin Pada Pasien Diabetes Mellitus).

6.      Sudah tepatkah pemilihan antibiotika yang diberikan? Jelaskan!
Jawab:
Antibiotik yang diberikan pada terapi ini adalah ceftazidim dan metronidazol. Pemilihan kedua obat ini untuk pasien tersebut sudah tepat karena:
·         Ceftazidim merupakan antibiotik golongan cephalosporin generasi ketiga yang memiliki spektrum yang lebih luas dibandingkan dengan cephalosporin golongan pertama dan kedua. Antibiotik ini mempunyai spektrum bakteri gram negatif yang lebih luas sehingga diharapkan mampu mengobati infeksi/ sepsis yang terjadi pada pasien (Basic and Clinical Pharmacology, Katzung 12th ed. 799).
·         Metronidazole merupakan antiprotozoa golongan nitromidazole yang juga memiliki aktivitas melawan bakteri anaerob termasuk bacteroides dan Clostridium sp. Obat ini dikontraindikasikan untuk terapi bakteri anaerob maupun infeksi intra abdominal campuran (Basic and Clinical Pharmacology, Katzung 12th ed p.891-892).
Kombinasi kedua obat ini diharapkan dapat mengatasi infeksi sepsis yang terjadi pada pasien, selain itu juga dapat untuk mencegah (atau mengobati) diabetic foot ulcer yang mungkin terjadi pada pasien, karena diabetic foot ulcer disebabkan oleh infeksi polimikroba sehingga perlu pencegahan dan penanganan dengan terapi antibiotik berspektrum luas serta antibakteri untuk kuman anaerob.

7.      Jelaskan tujuan, mekanisme kerja aspirin dan dipiridamol serta ESO potensial!
Jawab:
Aspirin
·         Tujuan: aspirin dalam terapi ini berfungsi sebagai anti platelet karena pasien DM akan mengalami hiperkoagulasi akibat peningkatan Tromboksan A2 (TxA2) yang merupakan agregrator poten platelet. Berdasarkan hasil pemeriksaan lab, diketahui bahwa Laju Endap Darah (LED) pasien sebesar 85 mm/jam yang menunjukkan tingginya agregrasi platelet. Oleh karena itu, dokter meresepkan aspirin dosis kecil (100 mg) sebagai anti platelet.
·         Mekanisme kerja: aspirin atau Acetyl Salicylic Acid (ASA) bekerja dengan cara menghambat enzim Cyclooxygenase (COX) sehingga tidak terbentuk Tromboksan A2 yang merupakan agregrator poten platelet sehingga tidak terbentuk platelet.
·         ESO potensial: efek samping yang biasa timbul pada dosis anti trombotik adalah gastric dan duodenal ulcer, karena bersifat asam. Obat ini dapat mengiritasi lambung sehingga lebih aman jika digunakan sesudah makan (Basic and Clinical Pharmacology, Katzung 12th ed p. 640)
Dipiridamol
·         Tujuan: dipiridamol dalam terapi ini juga berfungsi sebagai anti trombotik. Jika digunakan sebagai single therapy, obat ini memiliki efek yang kecil atau bahkan tidak berefek. Obat ini biasanya dikombinasikan dengan aspirin sebagai upaya pencegahan cerebrovascular ischemia. Pada pasien DM tipe 2 dengan kadar gula darah yang tinggi (750 mg/ dl) maka kombinasi dipiridamol dan aspirin digunakan untuk mengurangi risiko timbulnya atherosklerosis sebagai langkah proteksi sekunder terhadap penyakit kardiovaskular, juga mencegah timbulnya stroke iskemik.
·         Mekanisme kerja: dipiridamol adalah vasodilator yang menghambat fungsi platelet melalui penghambatan pada uptake adenosine dan aktivitas cGMP fosfodiesterase. Akibatnya, terjadi pengikatan konsentrasi adenosine bekerja di reseptor A2 untuk meningkatkan cAMP platelet dan menghambat agregrasi platelet.
·         ESO potensial: efek samping yang paling sering terjadi adalah sakit kepala dan palpitasi (Pharmacology Examination, Katzung & Trevor, 10th ed p.307).

8.      Bila asam mefenamat tidak mencukupi sebagai analgesik untuk pasien di atas, apa rekomendasi anda sebagai apoteker?
Jawab:
Apabila asam mefenamat tidak mencukupi sebagai analgesik, maka pasien dapat disarankan untuk mengganti asam mefenamat dengan beberapa obat analgesik lain yang efektif untuk neuropati diabetes, antara lain:
·         Golongan Antidepresant (Tricyclic – Antidepresant/ TCA)
Amitriptyline (25 – 150 mg sebelum tidur)
Obat ini telah terbukti efektif dalam mengobati nyeri neuropati diabetes, memiliki waktu paruh yang panjang dan juga tidak terlalu mahal. Obat ini sesuai untuk pasien yang memiliki keluhan gangguan tidur akibat nyeri pada malam hari. Obat golongan TCA merupakan first line therapy untuk nyeri peripheral neuropati diabetikum. Namun, obat ini harus digunakan dengan perhatian karena adanya efek samping berupa cardiac aritmia, mulut kering, penglihatan berkurang, konstipasi, retensi urine, serta pusing. Oleh karena itu, pasien dengan gagal jantung, aritmia, infark miokard, glaukoma, BPH, serta yang memiliki gangguan liver dikontraindikasikan terhadap obat ini. Pemeriksaan elektrogram perlu dilakukan terutama untuk pasien lansia.
·         Golongan Antikonvulsan
Gabapentin (300 mg sebelum tidur)
Gabapentin merupakan obat pilihan untuk terapi neuropati diabetes apabila pasien kontraindikasi dengan obat golongan TCA atau respon TCA kurang adekuat. Gabapentin secara struktural analog dengan Gamma Aminobutyric Acid (GABA). Obat ini berikatan dengan reseptor alfa 2 delta sub unit pada voltage gated Ca2+ channels. Pada beberapa penelitian disebutkan bahwa gabapentin menurunkan nyeri neuropati diabetik, serta memperbaiki kualitas tidur pasien. Efek samping yang mungkin ditimbulkan antara lain pusing dan mengantuk. Obat ini disekresi melalui renal sehingga tidak terlalu banyak terjadi interaksi obat. Namun, yang harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat ini adalah dari segi harga yang lebih mahal dibandingkan dengan golongan TCA.
Pregabalin (80 – 200 mg, 3 x 1 hari)
Pregabalin secara struktural mirip dengan gabapentin, dan juga memiliki farmakokinetik, metabolit dan efek samping yang juga mirip dengan gabapentin. Pregabalin memiliki onset yang lebih cepat dalam meredakan nyeri dibandingkan dengan gabapentin. Obat ini telah disetujui oleh FDA sebagai terpai untuk nyeri neuropati diabetik serta untuk terapi fibromyalgia. Selain itu, kelebihan dari pregabalin adalah memiliki konsentrasi plasma yang linear walaupun terjadi peningkatan dosis. Obat ini merupakan pilihan yang sesuai untuk pasien lansia. Efek samping yang mungkin ditimbulkan adalah pusing, edema, mengantuk, dan pertambahan berat badan (jarang terjadi) (Pregabalin in the Treatment of Neuropathic Pain Associated with Diabetic Peripheral Neuropathy, 2008).
·         Golongan SNRI (Serotonin – Norepinephrine Reuptake Inhibitor)
Duloxetine (60 – 120 mg/ hari)
Apabila obat golongan TCA ataupun antikonvulsan sudah tidak mencukupi, maka Duloxetine dapat direkomendasikan. Obat ini bekerja dengan cara berikatan dengan transporter serotonin dan norepinephrine sehingga kedua neurotransmitter tersebut dapat meningkat kerjanya. Obat ini efektif dalam mengatasi depresi, kecemasan, nyeri fibromyalgia, dan juga nyeri muskuloskeletal kronis. Efek samping yang biasa ditimbulkan adalah mual, mengantuk, mulut kering, kurangnya nafsu makan, dan juga konstipasi.
·         Golongan Opioid
Oxycodone controlled release (10 – 40 mg 2x sehari)
Obat golongan opioid ini juga efektif dalam mengatasi nyeri neuropati diabetik namun obat ini jarang digunakan karena terdapat efek samping toleransi hiperalgesia dan juga ketergantungan.




Kasus berikut merupakan lanjutan kasus tutorial 1:
Sekuen I:
Evaluasi 2 bulan kemudian menunjukkan data gula darah post prandial 230 mg/ dl, data lain normal. Tuan RM mendapat terapi tambahan vildagliptin 50 mg 2 dd 1 tab (terapi obat metformin 2 x 500 mg tetap dilanjutkan). Hasil evaluasi 2 bulan kemudian menunjukkan gula darah terkendali.
Pertanyaan:
1.      Jelaskan alasan pemilikan terapi tambahan pasien (vildagliptin) dengan hasil pemeriksaan gula darah! (tinjau dari mekanisme kerja obat tersebut).
Jawab:
Dari hasil pemeriksaan diketahui bahwa gula darah post prandial pasien sebesar 230 mg/dl, sedangkan data lain normal. Setelah pemberian terapi Vildagliptin 50 mg 2 dd 1 tab, hasil evaluasi 2 bulan kemudian menunjukkan gula darah terkendali. Terapi ini dipilih karena pada pasien DM tipe 2 terjadi defisiensi GLP 1 yang menurunkan respon insulin post prandial sehingga gula darah post prandial pasien tinggi. GLP 1 bekerja meningkatkan sekresi insulin serta menghambat sekresi glukagon, tetapi sangat cepat didegradasi oleh DPP-4 sehingga terapi Vildagliptin sangat tepat karena merupakan obat golongan DPP-4 inhibitor yang menghambat DPP-4 dan mencegah degradai GLP-1. Efek Vildagliptin berlangsung ± 12 jam, obat ini menurunkan kadar gula darah post prandial, tetapi tidak mempengaruhi kadar insulin plasma. Selain itu, golongan obat ini tidak meningkatkan berat badan serta tidak ditemukan kejadian hipoglikemia. Obat golongan ini sering dikombinasikan dengan metformin yang bekerja meningkatkan sensitivitas insulin sehingga dapat meningkatkan uptake glukosa, juga karena tidak ada interaksi obat di antara kedua obat maka penggunaan obat ini aman bagi pasien.

2.      Bagaimanakah aturan penggunaan OAD (Oral Anti Diabetes) tersebut? Jelaskan ESO (Efek Samping Obat) yang potensial terjadi!
Jawab:
Vildagliptin digunakan dengan dosis 50 mg satu atau dua kali sehari. Adanya makanan tidak mempengaruhi absorpsi vildagliptin sehingga dapat diminum sebelum atau sesudah makan. Efek samping yang mungkin terjadi, yaitu batuk dan nasofaringitis. Pada penggunaan jangka panjang, obat golongan DPP-4 inhibitor dapat menyebabkan efek samping imunologis. Akan tetapi belum ada data yang jelas mengenai ESO jangka panjang tersebut, sehingga Vildagliptin relatif aman digunakan.

3.      Kapan dinyatakan gula darah pasien DM terkendali? Berapa nilai gula darah target DM?
Jawab:
Menurut ADA (American Diabetes Association), gula darah pasien DM dinyatakan terkendali apabila nilai gula darah post prandial < 180 mg/dl dan gula darah pre prondial antara 90 – 130 mg/dl.

NB:
Pre prondial = sebelum makan
Post prandial = sesudah makan

Sekuen II:
Tujuh tahun kemudian pasien yang sama MRS (Masuk Rumah Sakit), setelah 3 hari terakhir panas, ada luka di kaki kiri yang tidak kunjung sembuh selama 2 bulan. Tekanan darah 160/ 95, suhu 39ºC, nadi 95/ menit. Hasil pemeriksaan data lab diperoleh:
GDA                           : 400 mg/dl                  HDL                            : 20 mg/dl
HbA1c                                    : 13%                           LDL                            : 200 mg/dl
Na+                              : 137 mmol/L               Kolesterol                    : 250 mg/dl
K+                                :3,5 mmol/ L                TG                               : 278 mg/dl
Cl-                                : 99 mmol/L                 Kreatinin serum           : 2 mg/dl
Hb                               : 11,2 g/dl                    BUN                           : 70 mg/dl
Leukosit                      : 16500/mm3                Albuminuria                : +3
LED                            : 85

Terapi MRS                 : Infus NS
                                      Actrapid 3 dd 8 unit SC (Sub Cutan)
                                      Ceftriakson 2 dd 1 gram
                                      ASA tab 1 x 100 mg
                                      Lisinopril 1 dd 10 mg
KRS (Keluar Rumah Sakit): Metformin 2 dd 500 mg, vildagliptin 2 dd 50 mg, lisinopril 1 dd 10 mg, simvastatin 1 dd 10 mg.

Pertanyaan:
1.      Perhatikan data lab, komplikasi DM apa yang dialami oleh pasien tersebut? Tunjukkan datanya dan jelaskan patogenesisnya!
Jawab:
a.       Data lab : tiga hari terakhir panas, luka di kaki selama 2 bulan tidak sembuh, leukosit 16.500/ mm3 , dan LED 85
Komplikasi: penyakit vaskular perifer, ulcer kaki (foot ulcer), serta infeksi.
Patogenesis: komplikasi kronis ini disebabkan karena adanya komplikasi makrovaskular dan mikrovaskular seperti neuropati, ischemi, serta faktor imunologis. Hal ini menyebabkan luka sukar sembuh pada kondisi hiperglikemia. Pada luka terbuka, sangat besar kemungkinan terjadinya infeksi oleh mikroorganisme. Infeksi ini dapat diketahui dari data leukosit yang meningkat.
b.      Data lab: TD 160/95 mmHg (normal ≤120/80 mmHg) dan Na+ 137 mmol/L.
Komplikasi: hipertensi
Patogenesis: hipertensi yang terjadi akibat adanya komplikasi mikrovaskular serta makrovaskular pada kondisi DM. Selain itu, juga dapat disebabkan karena adanya retensi natrium, obesitas abdominal serta adanya disfungsi endotel.
c.       Data lab: HDL 20 mg/dl (normal >40 mg/dl), LDL 200 mg/dl (normal < 100 mg/dl), kolesterol 250 mg/dl, dan TG 278 mg/dl (normal <159 mg/dl).
Komplikasi: dislipidemia
Patogenesis: pada pasien DM terjadi proses lipolisis yang meningkat. akibatnya asam lemak bebas serta TG mengalami peningkatan jumlah. Adanya defisiensi insulin atau retensi insulin menyebabkan tidak adanya faktor yang menghambat hormon sensitive lipase enzyme. Sehingga julah asam lemak bebas serta TG di sirkulasi darah meningkat karena peningkatan TG erat kaitannya dengan resistensi insulin.
d.      Data lab: kreatinin serum 2 mg/dl, BUN 70 mg/dl, albumin +3, dan Hb 11,2 g/dl.
Komplikasi: nefropati serta mikroalbuminuria.
Patogenesis: gangguan/ rusaknya fungsi dari glomerulus (glomerulosklerosis) mengakibatkan terjadi hiperfiltrasi sehingga kreatinin serum meningkat yang disertai mikroalbuminuria. Dalam kondisi ini jumlah Hb menurun dan bila nefropati berlanjut akan dapat memperparah kondisi hipertensi.
2.      Apa makna dan manfaat data lab HbA1C?
Jawab:
HbA1c merupakan fraksi hemoglobin terglikosilasi (berikatan dengan glukosa à glikohemoglobin) yang dapat memberikan gambaran glukosa darah dalam 120 hari terakhir (2-3 bulan) sesuai dengan usia eritrosit. Pengukuran HbA1c merupakan standar pengukuran kontrol glikemik dalam jangka panjang. Ada beberapa manfaat dari HbA1c, antara lain:
·         Dapat mengetahui gambaran kondisi glukosa darah jangka panjang,
·         Untuk mengetahui adanya hemoglobinopati,
·         Untuk mengetahui adanya anemia,
·         Untuk mengetahui defek membran sel darah merah.

3.      Apa alasan digunakan actrapid untuk pengendalian GD selama MRS? Kapan digunakan?
Jawab:
Actrapid merupakan preparat insulin kerja cepat (rapid action) yang cepat diabsorpsi, yang sesuai dan tepat digunakan bagi pasien DM yang masuk rumah sakit dengan gula darah tidak terkontrol. Diharapkan dengan terapi Actrapid dapat mengendalikan gula darah pasien secara optimal sehingga dapat menekan kondisi yang dialami pasien terutama berkaitan dengan infeksi yang terjadi. Rapid action insulin diinjeksikan sesaat sebelum makan melalui injeksi subkutan (SC) untuk membantu mengendalikan gula darah post prandial.

4.      Jelaskan mengapa luka pada pasien sulit sembuh?
Jawab:
Hal ini disebabkan karena pada pasien DM mengalami neuropati diabetes yaitu suatu keadaan ketika pasien sudah tidak bisa merasakan nyeri pada tempat terjadinya luka dan kondisi hiperglikemia yang dialami juga menyebabkan luka sukar menutup. Selain itu, faktor lainnya ialah kondisi ishemia serta peripheral vascular disease. Peripheral arterial disease menyebabkan disfungsi sel endotel sebagai konsekuensi dari kondisi hiperglikemia yang terjadi dan sifatnya persisten sehingga terjadi peningkatan produksi tromboxan (TxA2) yang menyebabkan hiperkoagulasi plasma. Keadaan ini dengan hipertensi serta hiperdislipidemia akan meningkatkan risiko diabetetic foot ulcer.

5.      Mengapa dipilih ceftriakson untuk pasien di atas? Jelaskan!
Jawab:
Ceftriakson merupakan antibiotik broad spectrum golongan cephalosporin. Obat ini diberikan sesuai untuk kondisi pasien yang sedang mengalami infeksi dilihat dari data lab, yakni peningkatan jumlah leukosit. Selain itu, ceftriakson juga merupakan antibiotik yang efektif dibandingkan golongan cephalosporin lainnya.

6.      Mengapa dipilih antihipertensi lisinopril untuk pasien di atas? Jelaskan!
Jawab:
Dari data lab diketahui bahwa pasien mengalami diabetik nefropati sehingga pemilihan lisinopril sangat sesuai karena golongan ACE inhibitor yang bekerja pada enzim ACE di ginjal dengan cara menurunkan sintesis angiotensin II. Selain itu, lisinopril juga memiliki waktu paruh yang panjang sehingga bisa diberikan satu kali sehari pada pasien.

7.      Mengapa pasien di atas mendapatkan ASA? Bagaimana mekanisme kerjanya? Cukupkah 1 dd 1? Kapan digunakan?
Jawab:
Pasien DM ini mengalami Peripheral Arteriol Disease yang menyebabkan terjadinya hiperkoagulasi akibat peningkatan tromboksan A2 (TxA2) yang merupakan salah satu agregator poten platelet. Sehingga terapi ASA sebagai terapi antiplatelet agar tidak memperparah injeksinya. Selain itu, terapi ini diberikan karena dari data lab LED (Laju Endap Darah) pasien 85 mm/ jam yang menggambarkan fungsinya agregasi platelet sehingga terapi ini sangat diperlukan.
ASA (Aspirin) bekerja menghambat enzim cyclooigenase (COX) sehingga tromboksa A2 tidak terbentuk.
Terapi ASA 100 mg sebagai anti platelet untuk pasien diabetes lebih baik diberikan 2 kali sehari dibandingkan 1 kali sehari. Obat diminum sesudah makan karena ASA bersifat asam dan dapat mengiritasi lambung.

8.      Jelaskan tujuan pemberian dan waktu penggunaan simvastatin? Apa ESO potensial dari obat ini?
Jawab:
Pemberian simvastatin bertujuan untuk mengobati dislipidemia yang terjadi pada pasien. Simvastatin merupakan golongan statin yang bekerja menghambat sintesis kolesterol hepatik melalui penghambatan terhadap enzim HMG Co A reduktase sehingga akan dapat menurunkan LDL dan TG yang meningkatkan HDL. Di samping terapi simvastatin juga mencegah terjadinya arterosklerosis.
Efek samping yang potensial terjadi antara lain:
·         Meningkatnya serum aminotransferase
·         Peningkatan kreatin kinase
·         Rhabdomyolisis
·         Resiko miopati dan hepatotoksisitas
·         Teratogenik